1.1. Aspek Visual pada Desain
Hampir semua orang, dari semua kalangan, baik anak-anak, remaja, dewasa, hingga orang tua, dapat menjawab manakah karya yang bagus dan manakah karya yang tidak bagus. Kemudian, pada pertanyaan selanjutnyapun, masih banyak yang seolah-olah dapat menjawab pertanyaan, ‘mengapa karya ini disebut bagus, dan mengapa yang ini tidak bagus ?’.
Menjadi hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut lagi, setelah mereka dapat menerangkan alasan sesuatu dikatakan bagus atau tidak, jawaban yang terlontar ternyata tidak sama satu sama lain, bahkan lebih menarik lagi, ketika seseorang telah mencoba menjawabnya, maka pada beberapa saat kemudian, mereka menjadi ragu terhadap jawaban mereka sendiri, demikian juga dengan pilihan mereka mengenai karya yang bagus ataupun tidak, ternyata tidaklah stabil, bahkan kadangkala dengan mudahnya bergeser dari satu pilihan ke pilihan yang lain, yang bahkan sebelumnya adalah sesuatu yang tidak dilirik sama sekali.
Faktor yang membuat pergeseran itupun ternyata beragam, ada yang dikarenakan pengaruh teman, kosentrasi yang sedang tidak mengarah pada pilihan, atau semata-mata karena tidak memperhatikan.
Pada kenyataanya, hal yang ekstrim kadangkala terjadi ketika seseorang harus memilih sebuah produk pakai ( karya desain ). Pada satu saat orang tersebut seperti tergila-gila berusaha untuk memiliki sebuah produk, pada saat yang lain ia justru mencampakkan barang tersebut.
Hal inilah yang akan menjadi perhatian, yaitu mejawab pertanyaan ‘mengapa seseorang dapat menerima satu karya, memilihnya, memilikinya dengan menukarkan nilai yang dimiliki, hingga bagaimana seorang desainer harus merancang sesuai dengan karakteristik orang yang akan menggunakan barang tersebut.
Permasalahan bagaimana seseorang memilih sebuah produk adalah permasalahan yang cukup kompleks, terdapat banyak faktor yang menentukan bagaimana seseorang harus bersikap untuk memutuskan apakah dia membeli atau tidak terhadap produk yang diminatinya. Salah satu pertimbangan yang mempengaruhi hal ini adalah pertimbangan visual, yaitu pertimbangan yang berkenaan dengan tampilan sebuah produk, objek, atau karya, atau lebih luas lagi dari sekedar tampilan adalah apa yang disebut dengan aspek visual.
Terlepas dari motivasi yang bersifat praktis yang melatari seseorang ketika memilih produk untuk dimiliki, keputusan seseorang untuk berinteraksi dengan sebuah karya pertama tama adalah melalui komunikasi secara visual.
Aspek visual adalah aspek pertama yang berhubungan dengan manusia ketika ia harus berinteraksi dengan sebuah produk pakai, baik dalam waktu yang sekejap sekalipun ataupun dalam waktu yang relatif lama.
Tentunya, ketika aspek tersebut adalah sesuatu yang ‘pertama’ bersentuhan dengan manusia, selayaknyalah harus ada sebuah kajian yang mendetail mengenai permasalahan tersebut.
Mungkin saja, seperti yang disebutkan diawal tulisan ini, dikarenakan hampir semua orang dari semua kalangan dapat menjawab dan merasa mampu untuk menjawabnya, maka kajian-kajian mengenai aspek ini seperti diabaikan, ataupun kalau ada cenderung diletakkan pada bidang kajian filsafat, sebuah bidang yang mungkin dirasakan jauh untuk dapat dikenakan pada tataran praktis sehari-hari.
Jika dikaji lebih dalam lagi, maka adanya keragaman pendapat mengenai kualitas visual sebuah karya seharusnya memperlihatkan bahwa kajian mengenai hal ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan.
Hipotesa yang paling umum terhadap permasalahan ini adalah bahwa ‘kualitas visual’ adalah sesuatu yang bersifat kontekstual, ia bukanlah sesuatu yang bersifat logis linier, sehingga perlu dipahami bahwa untuk menelaah kualitas visual sebuah produk, akan terdapat banyak faktor yang mempengaruhi penilaian kualitas itu sendiri, dan menurut pengalaman sehari-hari, dapat dibuktikan bahwa nilai terhadap kualitas tersebut sangat erat hubungannya dengan ‘waktu’ atau masa, dan tempat dimana penilaian tersebut dilakukan.
Hal yang yang cukup sederhana adalah nilai kecantikan dari seorang wanita, pada gambar dibawah ini dapat dilihat beberapa nilai ‘kecantikan’ yang diakui di masing-masing negara atau pada sebuah komunitas.
Seperti yang terlihat pada gambar tersebut seseorang yang dinilai cantik untuk negara di Burma ternyata sangat berbeda dengan yang disebut cantik di negara di belahan benua Afrika atau negara Mesir. Di negara Mesir, seseorang dikatakan cantik jika ia memiliki tubuh yang besar ( lebih dari sekedar gemuk ), sedangkan pada wanita cantik di kalangan komunitas ‘punk rock’ sangat berbeda dengan standar yang berlaku secara umum di banyak negara, demikian juga dengan kecantikan yang berlaku pada masa tertentu.
Hipotesa itu sendiri memperlihatkan adanya permasalahan yang menarik untuk dikaji mengenai kualitas visual, bahwa dibutuhkan satu bidang profesi yang harus sanggup mengakomodasi pertanyaan-pertanyaan diatas.