ESTETIKA


Istilah Estetika sendiri dipopulerkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1714 - 1762) melalui beberapa uraian yang berkembang menjadi ilmu tentang keindahan.(Encarta Encyclopedia 2001, 1999), dan menggunakan istilah visual untuk membedakan antara pengetahuan intelektual dan pengetahuan indrawi. Hal ini menunjukkan bahwa visual yang baru muncul pada abad 18, harus dibedakan dengan pengertian tentang keindahan. Dengan demikian maka sesuatu yang estetis belum tentu ‘indah’ dalam arti sesungguhnya, sedangkan sesuatu yang indah sudah pasti dapat dikatakan estetis.

Dalam bidang seni, banyak ahli yang berpendapat bahwa keindahan berhubungan dengan rasa yang menyenangkan seperti Clive Bell, George Santayana, dan R.G Collingwood.(Sutrisno,1993)

Salah satu pernyataan mengenai visual dirumuskan oleh Clive Bell, "keindahan hanya dapat ditemukan oleh orang yang dalam dirinya sendiri telah memiliki pengalaman sehingga dapat mengenali wujud bermakna dalam satu benda atau karya Seni tertentu dengan getaran atau rangsangan keindahan".

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa reaksi-reaksi yang bersifat emosional bersifat kontekstual, demikian juga salah satu nilai yaitu keindahan.

Pada abad pertengahan, pengalaman keindahan dikaitkan dengan kebesaran alam ciptaan Tuhan, pada masa ini pengalaman estetis dikaitkan dengan pengalaman religi. Pada jaman modern, pengalaman keindahan dikaitkan dengan tolak ukur lain seperti  fungsi, efisiensi, yang memberi kepuasan, berharga untuk dirinya sendiri, pada cirinya sendiri, dan pada tahap kesadaran tertentu.

Kajian mengenai keindahan telah didokumentasikan dari jaman antik hingga sekarang. Pada jaman antik keindahan dalam Arsitektur dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan keindahan obyek-obyek lainnya, akan tetapi secara mendasar tingkat keindahan pada aneka objek itu sama penting.

Ketika peradaban Mesir menghasilkan banyak objek yang kita sebut hari ini sebagai indah, kata keindahan secara nyata tidak pernah hadir pada tulisan tulisan saat itu.
Di Mesir, ahli bangunan dan pematung/seniman menggunakan teori proporsi yang berkaitan dengan rumus-rumus matematik untuk mencapai keindahan, sebagai dasar untuk mengkonstruksikan sistem proporsi seperti yang kemudian dipergunakan secara luas.

Pada abad pertengahan, penelitian tentang keindahan umumnya diklasifikasikan sebagai cabang dari teologi. Hal ini dikarenakan adanya pendapat bahwa keindahan  adalah atribut dari Tuhan. Penulis yang patut dicatat adalah Augustinus (354 -430 : De vera religione ). Ia mengatakan bahwa keindahan berdasarkan atas kesatuan dan keberaturan yang mengimbangi kompleksitas. Masing masing cara mengatur itu adalah melalui ritme, simetri atau proporsi-proporsi sederhana (perbandingan ukuran yang enak dilihat). (www.uiah.fi)

Filosof lain yang terkenal adalah Thomas Aquino ( 1225 - 1274 ), menulis mengenai esensi dari keindahan. Rumusannya yang terkenal adalah "keindahan berkaitan dengan pengetahuan". (www.uiah.fi)
Sesuatu disebut indah jika menyenangkan mata sipengamat, namun disamping itu terdapat penekanan pada pengetahuan bahwa pengalaman keindahan akan bergantung pada pengalaman empirik dari pengamat. Hal yang selalu mencolok adalah kondisi dan sikap terhadap subyek keindahan, persiapan individu untuk memperoleh pengalaman visual.
Selanjutnya, ia berpikir bahwa keindahan adalah hasil dari tiga sarat : keseluruhan ( lat. Integritas) atau kesempurnaan, keselarasan yang benar ( lat. Proportio ) dan kejelasan atau kecemerlangan.(www.uiah.fi)

Secara umum gagasan Thomas Aquinas merupakan rangkuman segala filsafat keindahan yang sebelumnya telah dihargai. Sejalan dengan Aristoteles, Thomas Aquinas menekankan pentingnya pengetahuan dan pengalaman empiris-aposteriori yang terjadi dalam diri manusia.(Sutrisno,1993,hal 34)

Ketika mengkaji secara empirik obyek yang sulit untuk didefinisikan atau diukur secara langsung, pendefinisian dapat dipermudah dengan perbandingan dengan obyek objek atau benda lain, yang lebih mudah untuk dikaji, karena telah dikenal. Kemudian, daripada menggunakan real definition untuk sementara dapat digunakan definisi nominal untuk objek atau benda tersebut. Cara ini telah dimanfaatkan dalam pengkajian tentang keindahan oleh St.Augustinus dan Thomas Aquino.

Jauh sebelumnya, pada kebudayaan Yunani, definisi definisi nominal sudah banyak digunakan seperti pada tulisan Plato "Dialog", dimana terdapat beberapa bagian yang mencoba untuk memperjelas pengertian kata "keindahan". Metoda yang dilakukan tidak benar-benar empirik;  metoda yang digunakan pada jaman ini mirip dengan fenomenologi modern yang menekankan terjadinya ilham Seni dalam penciptaan karya Seni itu sendiri dan juga menekankan kesinambungan pengamatan karya Seni dengan muncul dan berkembangnya rasa keindahan atau pengalaman estetis. (Sutrisno,hal 34)
Tulisan tulisan Plato mengenai keindahan banyak didasari pada doktrinnya mengenai "idea". Menurut Plato segala kenyataan yang ada di dunia ini merupakan peniruan (mimesis) dari yang asli, dan yang asli menurutnya adalah yang hanya terdapat didunia atas saja, idea bukanlah di dunia nyata ini dan adalah jauh lebih unggul daripada kenyataan didunia ini.
Selanjutnya Plato berpendapat bahwa seseorang  seharusnya mencoba menemukan pengetahuan dibelakang segalanya, yaitu  pengetahuan tentang yang nyata dan permanen ( Yunani ; episteme = pegetahuan ) yang hadir sebagai pengertian tentang 'idea'. Satu dari unsur/ciri 'idea' itu adalah keindahan ( Yunani ; to kalon ), sifat permanen yang dimiliki oleh semua objek objek yang indah. Plato menitik beratkan pada pengalaman awal dari dirinya dan muridnya ( audience ), dan juga pada maksud-maksud yang diakumulasikan pada kata kata dari bahasa konvensional. Ketika memahami kata Yunani untuk indah, kalos, Plato mencatat bahwa kata ini pertama bermaksud 'baik' dan 'pantas'.  Pada saat ini, dapat dimengerti bahwa ‘baik’ dan’pantas’ adalah pengertian yang bersifat kualitatif.

Dari "Timaeus" dapat dikutip bahwa sesuatu yang dipahami oleh akal dan pengetahuan akan tetap, akan tetapi sesuatu yang dipahami oleh pendapat yang menolong sensasi, dan tanpa pengetahuan, akan selalu dalam proses menjadi dan binasa yang  tidak pernah mencatat hal-hal yang benar benar ada. Teori ini menyiratkan bahwa pemahaman mengenai apa yang indah dan tidak indah akan sangat berbanding lurus dengan pengetahuan yang melatar belakangi si pengamat. Konsekuensi dari pengertian inilah yang menyebabkan bahwa kualitas visual dapat bergeser, dikarenakan perbendaharaan latar belakang mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh pengamat senantiasa berubah.

Usaha untuk memberikan definisi yang tetap agaknya masih diupayakan sejak dahulu kala, terdapat anggapan bahwa esensi yang tetap dari keindahan adalah akibat dari proporsi proporsi yang tepat yaitu dari perbandingan ukuran. Gagasan ini dihubungkan pada penelitian dan falsafah Pytagoras ( 532 SM ) yang telah mengembangkan sistem proporsi-proporsi aritmatika tertentu dalam instrumen musik, seperti panjang string, menghasilkan harmoni nada. Berdasarkan pada harmoni musik ini masyarakat Yunani mencoba untuk menerangkan juga keindahan dalam proporsi-proporsi tubuh manusia, Arsitektur, dan objek-objek lain. Aristoteles (384-322 SM) memiliki kebiasaan untuk memperjelas konsep konsep melalui perhitungan komponen-komponen. Untuk keindahan ( Yunani : kalliste) hal tersebut adalah keberaturan , perulangan ukuran (Yunani : symmetria) dan kepastian.

Menjadi pertanyaan bagi masyarakat modern, bahwa apakah semua karya yang telah menggunakan sistem proporsi tersebut akan dapat memiliki ketetapan yang absolut pada sepanjang masa ?.

Dalam pembahasan ilmiah mengenai Seni, dipikirkan bahwa keindahan merupakan bagian dari objek.
Tidak semua filosof jaman antik setuju pada teori keindahan tersebut. Secara kontras, Epicurus menyajikan teori yang berbeda, menetapkan bahwa ketika seseorang merasakan keindahan, perasaan pribadi ( Yunani ; hedone ) dilibatkan. Dalam tulisan Epicurus, ditemukan teori hedonistik yang orisinal, yang mengaitkan pengalaman indah dengan perasaan yang menyenangkan. Pernyataan inilah yang menyiratkan bahwa kualitas visual sangat berhubungan dengan nilai nilai emosional yang bersifat positif.

Vitruvius, dalam hal ini tampak mengadopsi teori Plato dan Epicurus dan mencoba menggabungkan keduanya dalam teorinya sendiri. Pada kenyataanya, ia sependapat dengan Epicurus yang mengatakan bahwa keindahan sama dengan keanggunan, akan tetapi sensasi keanggunan akan dihasilkan artefak jika telah memiliki proporsi yang benar. Hal ini tidak identik dengan gagasan yang dibawa dari Plato. Vitruvius menulis dalam bukunya instruksi-instruksi praktis bagi rancangan yang memungkinkan seniman mencapai keindahan dalam karya, ia menyajikan teori Desain yang mengikut-sertakan faktor faktor kualitatif, tidak saja faktor konstruktif.
Vitruvius mengatakan bahwa bangunan adalah indah bila rupa penampilan dari pekerjaan menyenangkan, dalam cita-rasa yang baik, dan ketika setiap bagian sesuai dengan proporsi yang mengacu pada prinsip-prinsip yang tepat, seperti simetri (simetri dalam pengertian 'persetujuan yang tepat antara bagian bagian karya itu sendiri, dan hubungan antara bagian bagian yang berbeda dengan skema umum secara keseluruhan, dalam kesesuaian dengan standar yang terpilih).
Vitruvius, mencetuskan prinsip dasar dari Arsitektur, yaitu :
Keberaturan, Sintaks, Eurythmy, Symmetry, Propriety, Efesiensi. (Fundamental Principles of Architecture)

Selama abad-abad pertengahan, proporsi-proporsi dan perban-dingan-perbandingan ukuran diperhatikan sebagai atribut yang penting bagi keindahan objek-objek.
Renaissance membangkitkan kembali pengkajian dari proporsi Pythagoras yang menggunakan bentuk bentuk geometris melalui perbandingan matematis.

Seorang arsitek besar pada masa Renaissance, Leon Battista Alberti ( 1404 -1472 ), menekankan pada aspek formal dari bangunan dan detailnya, proporsi dan ornamen. Ia menyelidiki syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam karya Seni lukis, Seni pahat dan Arsitektur dari sudut pengolahan materi, untuk mencapai kesatuan dari bagian bagian karya Seni sehingga menjadi utuh. Keindahan (lat. Pulchritrudo) adalah 'harmoni dari semua bagian, dalam bentuk apapun, dipasangkan bersama dalam proporsi dan hubungan yang tepat, sehingga tidak ada lagi yang dapat ditambahkan, dikurangi atau dirubah, selain untuk bertambah buruk'.
Hal ini dapat dimengerti sebagai perkataan bahwa sesuatu supaya menyenangkan harus harmonis, proporsional, dan hubungan antara bagian bagian dari objek tersebut harus seimbang.

Selanjutnya, dikenal juga Leonardo da Vinci yang secara khusus menyinggung mengenai ketelitian dalam pelaksanaan, hingga unsur terkecil pada satu karya, perlu disempurnakan. Sikap ini kemudian menjadi ciri karya karya abad pertengahan.
Ajaran Leonardo da Vinci dan kemudian Buonarotti Michelanggelo diperdalam dengan studi tentang perspektif geometris serta proporsi tubuh manusia dan studi anatomi.

Mayoritas peneliti yang membahas keindahan akhirnya mengadopsi pandangan bahwa cita rasa keindahan bukanlah semata berasal dari sifat-sifat objek saja, akan tetapi juga tergantung pada kondisi pengamat dan lingkungan.

Kajian mengenai keindahan sebagai kualitas objek Seni telah dilanjutkan lebih sistematis dalam pendekatan modern tahun 1928 ketika matematikawan Amerika George David Birkhoff mempresentasikan persamaannya;

M = O / C
Nilai keindahan = hasil dari keberaturan dibagi kompleksitas
M = ( measure )Nilai keindahan
O = ( order )Keberaturan
C = ( complexity )Kompleksitas

Dua elemen terakhir dari persamaan Birkhoff memang dapat dihitung dan diberi angka. Seperti yang dipakai oleh Birkhoff sendiri, dimana ia menguji persamaannya pada suatu vas bunga, dengan jumlah elemen yang terbatas ( hanya terdiri dari tiga garis lengkung), tingkat keberaturan yang rendah (disusun secara simetris saja), maka nilai keindahan dari vas menjadi tidak tinggi ( angka kecil dibagi tiga ).

Pada dekade selanjutnya, para peneliti keindahan ,terutama di Jerman, menghimpun pola-pola melalui pemasangan komponen komponen sederhana, mengukur kompleksitas dan bagaimana sistematika pengaturannya, sehingga nilai keindahan sebuah objek dapat dinilai.
Namun cara penyelidikan ini tidak sangat berhasil. Banyak seniman menemukan figur yang indah, sebagai pekerjaan Seni yang nyata, tetapi tidak harus/dapat dikaitkan dengan parameter Birkhoff.

Pada saat ini, "mainstream" dari penelitian visual lebih melihat keindahan bukan sebagai sifat dari objek itu sendiri, tetapi sebagai hasil sensasi atau interaksi antara persepsi dan obyek.
Masalah keindahan ternyata kadang kadang dikaitkan dengan ajaran agama, seperti lukisan lukisan geometris Islam yang dipengaruhi oleh ajaran yang mengharamkan penggambaran makhluk hidup.

Persepsi karya Seni sebagai kesenangan indra tidak sesuai dengan filosofi gereja kristen muda. Definisi keindahan sebagai sesuatu yang layak dikaji telah ada dalam Kitab Injil , dikarenakan tekanan Gereja hal ini tidak dapat berkembang. Baru setelah jaman Renaissance, teoritikus Arsitektur pertama yang menonjol, Philibert de l'Orme ( sekitar 1510 - 1570 ) mempengaruhi perkembangan yang memunculkan psikologi modern dari persepsi.

Philibert de l'Orme tidak mempercayai keindahan berdasarkan proporsi-proporsi saja, setelah ia membuktikan melalui pengukuran bahwa Panthenon memiliki kolom kolom Corinthian yang dirancang dengan tiga sistem proporsi yang berbeda ( menentang hukum Vitruvian yang mengizinkan hanya satu set proporsi ). Ia menyimpulkan bahwa dimensi yang layak untuk kolom bergantung pada seberapa tinggi kolom tersebut, dan posisi kolom itu, apakah  di letakan rendah atau tinggi dalam struktur bangunan. Hal ini memberi pengertian bahwa keindahan kolom tidak bergantung pada bentuk aktual dari kolom itu sendiri, melainkan hanya merupakan impresi akhir seseorang ketika melihat kolom tersebut.(Www.uiah.fi)
Hal ini mendorong de l'Orme untuk menambah model model baru daftar model kolom tradisional mengenai keberaturan sebuah rancangan.

Pemikiran Philibert de l'Orme selanjutnya dikembangkan oleh rekan senegaranya, Claude Perrault (1613 - 1688) dan diekspresikan secara khusus  dalam ulasannya berupa terjemahan ke bahasa Perancis mengenai Vitruvius pada tahun 1673. Perrault menyatakan dalam ulasan tersebut bahwa keindahan tidaklah absolut (beauté positive ); melainkan, pengetahuan tentang keindahan diperoleh melalui kebiasaan atau belajar (beauté arbitraire). (Www.uiah.fi)

Pada tahun 1750, Alexander Gottlieb Baumgarten melihat adanya syarat syarat tertentu dalam menafsirkan pekerjaan-pekerjaan Seni. Ia ingin mengetahui secara pasti mengapa seseorang dapat mengalami keindahan dan sanggup mengapresiasi pekerjaan Seni. Selanjutnya ia melakukan penelitian psikoogi Seni. Baumgarten tidak menggunakan lagi kata keindahan melainkan mengambil istilah "visual" dari bahasa Yunani 'aisthekos', yang dihubungkan dengan persepsi.

Inisiatif Baumgarten tidak dengan segera memunculkan teori yang meyakinkan. Hipotesis yang lebih baik disajikan oleh Immanuel Kant ( 1724 - 1804 ), yang membuat visual menjadi bagian dari sejarah umum filsafat, dalam bukunya "Kritik der Urteilskraft"(1790). Mengikuti langkah Epicurus, ia menetapkan bahwa “keindahan adalah segala sesuatu yang menyenangkan semua orang dan menghargai opini mereka bahwa objek yang menyenangkan adalah indah".
Gagasan Baumgarten mengenai keindahan secara empirik telah diletakkan oleh George Th.Fechner. dalam eksperimen laboratoriumnya. Ia mengkaji preferensi dari masyarakat biasa yang tidak dilatih mengenai visual terhadap karya Seni. Eksperimen-eksperimennya kemudian diikuti oleh peneliti lain, seperti Weber, yang menemukan bahwa terdapat beberapa ketetapan pada ulasan masyarakat mengenai keindahan objek dan bentuknya, dimana proporsi Phytagoras, dan proporsi yang disebut Golden Section tidak digunakan. (Www.uiah.fi)

Pada tahun-tahun selanjutnya, kajian Fechner berkembang menjadi cabang penting dari sains, yaitu psikologi persepsi. Contoh penelitian Arsitektur yang dipengaruhi oleh jiwa psikologi persepsi adalah "Arkitekturens uttrycksmedel" oleh Sven Hesselgren (1954). Buku tersebut dipengaruhi oleh contoh J.S. Siréns ( Finnish Professor pada arsitekture, 1889 - 1961 ) pengajar bentuk :

'resep untuk membuat keindahan tidak dapat selalu ditemukan, akan tetapi dengan menganalisanya, kita dapat menentukan penyebab terjadinya perbedaan impresi, keaslian dan sumbernya, dan kemudian menjadikan Arsitektur lebih mudah, yaitu ketika desainer menjadi lebih sadar terhadap sifat kreasinya dan faktor faktor yang mengarahkan pada hasil'.

J.S. Siréns menerangkan bahwa sebuah pola atau figur dapat menyenangkan mata bila dengan mudah dapat dimengerti, dan ini selanjutnya memberikan kepuasan. Perancang tidak boleh menimbulkan ketidak jelasan pada pengamat. Ia menemukan dasar dasar yang bersifat psikologis bagi sejumlah hukum arsitektural, sebagai contoh dasar mengenai kontras. (Www.uiah.fi)

Penelitian dalam psikologi persepsi dan visual dikembangkan secara khusus sebagai ilmu yang dikenal sebagai art psycology. Psikologi persepsi berkembang dari psikologi tradisional dimana manusia dan lingkungan merupakan elemen dasar dan saling mempengaruhi satu sama lain melalui stimuli dan respon.
Sekolah psikologi behaviorisme mempertimbangkan apakah ada kemungkinan untuk mendapatkan jawaban yang pasti terhadap pertanyaan "Apa yang terjadi pada kesadaran dan kognisi manusia dalam jangka waktu antara diterimanya stimuli dan memberikan respon ? ", karena kandungan dan fungsi dari kesadaran tidak dapat dikaji secara tepat tanpa mencampuri keduanya.

Teoritikus psikologi kognitif memiliki pandangan berbeda;, model hipotesis dari fungsi kesadaran diuraikan dengan sangat detail. Model tipikal disajikan oleh Matti Syvänen, 1985.
Pada awalnya, banyak peneliti yang masih membagi persepsi pada tiga fase yaitu, persepsi - kognisi - intrepretasi dan evaluasi. Hal ini berbeda dengan pandangan umum pada saat ini, bahwa pada satu tahapan terdapat aspek aspek yang berbeda, sehingga garis stimuli-respon-tindakan tidak bersifat linier.

Outline membantu asosiasi agar terjadi proses persepsi. Konsep outline (Jerman;Gestalt) pertama kali disajikan dalam ilmu psikologi oleh Christian von Ehrenfels pada tahun 1890. Ia mengarahkan perhatiannya pada kenyataan bahwa untuk mengerti sebuah komposisi, keseluruhan outline lebih penting daripada bagian. Jika urutan komposisi diubah menjadi susunan baru, semua komposisi akan menjadi sesuatu yang lain tetapi keseluruhan outline dari komposisi  tersebut tetap sama. (Www.uiah.fi)

Ketika seniman sedang menarik outline, bagian bawah sadar ternyata mematuhi aturan aturan tertentu, yang dikenal dengan hukum-hukum Gestalt. Sebagai contoh, ketika manusia melihat sebuah figur yang tidak sempurna, akan dilengkapi menjadi figur yang dapat dikenal (asosiasi). Manusia cenderung untuk melengkapi bagian bagian yang tidak lengkap berdasarkan kemiripan gambaran dalam memorinya.
Tanda tanda yang dekat satu sama lain cenderung bergabung dalam pikiran untuk membuat kesatuan yang lebih besar. Jika terdapat kemiripan pada beberapa tanda, maka tanda-tanda tersebut akan saling bergabung membentuk satu kesatuan.

Dengan melihat uraian diatas, maka dapat dilihat beberapa sudut pandang dan sikap manusia terhadap keindahan. Pada masa Yunani, kemudian pada abad pertengahan, keindahan ditetapkan sebagai bagian dari teologi.

Pada abad pertengahan di Barat, tekanan diletakan pada subjek, proses yang terjadi ketika seseorang mendapatkan pengalaman keindahan. Pada jaman modern, tekanan justru diletakkan pada obyek, sehingga tampak bahwa visual dipertimbangkan sebagai dari cabang dari sains, khususnya filsafat dan psikologi.

Melihat hal tersebut, maka pertimbangan mengenai kualitas visual dalam desain dapat dikaji setidaknya pada :
1.             Pemahaman karya sebagai obyek visual. Yaitu pengkajian unsur-unsur yang membangun objek sehingga dapat memunculkan nilai-nilai dari kualitas visual.
2.             Pemahaman terhadap manusia sebagai subjek yang mengamati atau menciptakan karya yang memiliki kualitas visual. Yaitu mengkaji apa yang terjadi, yang melatar belakangi, manusia yang mengamati objek sehingga dalam dirinya muncul reaksi yang bersifat emosional.

Bee Nest

Bee Nest

Butterfly

Butterfly