Desain adalah satu bidang profesi yang berusaha untuk menjawab pertanyaan pertanyaan seputar permasalahan mengenai bagaimana manusia berhubungan dengan sebuah artefak, terutama bentuk hubungan secara visual. Bidang ini mengkaji problematika bagaimana sebuah artefak sebagai salah satu bentuk hasil peradaban dapat dihadirkan guna meningkatkan kualitas hidup manusia, memberikan solusi yang dianggap paling optimal terhadap sebuah permasalahan diantara aktifitas kehidupan untuk kurun waktu tertentu.
Dikarenakan pada profesi ini solusi yang diusulkan adalah sebuah artefak kebudayaan atau peradaban, maka konsekuensi paling dekat adalah ia harus selalu berhubungan dengan ‘nilai’ yang dianut oleh sebuah masyarakat.
Sejarah peradaban manusia membuktikan bahwa nilai-nilai yang berlaku, yang dianut, ternyata selalu bergeser, tidak pernah menjadi sesuatu yang baku. Sesuatu yang dianggap berharga pada satu masa, dapat saja dinilai menjadi tidak berharga sama sekali pada masa yang lain. Demikian juga dengan kualitas sebuah ‘karya’ desain, baik berupa produk artefak ataupun karya seni yang murni.
Adanya pergeseran-pergeseran terhadap nilai inilah yang menyebabkan setiap produk atau karya desain perlu senantiasa di’desain’ ulang (redesign), atau dengan kata lain, peran desain akan selalu diperlukan guna mengakomodasi kebutuhan manusia berkenaan dengan nilai-nilai yang dianutnya.
Demikian juga yang terjadi pada dunia visual, pada satu masa, bentuk-bentuk yang rumit, yang memperlihatkan ketekunan seseorang dalam menghasilkan suatu karya dapat dinilai sebagai ‘karya yang indah’, pada satu masa yang lain, bentuk-bentuk yang sederhana justru dinilai sebagai satu bentuk ‘karya yang indah’. Pada dasarnya, nilai-nilai yang terbentuk pada satu masyarakat atau komunitas secara langsung akan mempengaruhi persepsi seseorang dalam menafsirkan bentuk karya yang mana yang dinilai memenuhi tuntutan dari dalam dirinya.
Problematika mengenai kualitas visual, dalam dunia desain dan seni dimasukan dalam kajian visual, yang dapat dipahami sebagai cabang dari filsafat yang menitik beratkan perhatian pada analisis konsep dan solusi permasalahan yang muncul ketika seseorang mengkontemplasi objek-objek visual. Objek-objek visual, pada gilirannya, terdiri dari semua objek pengalaman visual, hal tersebut hanya terjadi ketika pengalaman visual telah cukup dikarakteristikan bahwa seseorang mampu membatasinya kepada objek objek visual. ( John Hospers ).
Kualitas Visual dipahami sebagai nilai yang muncul pada diri seseorang yang sedang berhubungan ( memperhatikan, mengamati, mendengarkan, dan sebagainya ) dengan sebuah objek cerapan ( objek visual, musik, bau, dan sebagainya ) dikarenakan bekerjanya alat indra terhadap objek tersebut. Dengan demikian apa yang disebut visual pada objek visual adalah kualitas visual yang dimiliki oleh objek tersebut sehubungan dengan nilai yang muncul ketika objek visual tersebut telah diinterpretasikan atau diapresiasi.
Nilai yang muncul tersebut, menurut Clive Bell, akan memunculkan reaksi yang bersifat emosional.
Kata kunci yang dapat ditarik dari pengertian tersebut adalah bahwa reaksi yang muncul ketika seseorang mencoba menginterpretasikan sebuah karya adalah reaksi yang bersifat emosional. Reaksi inilah yang membedakan nilai yang muncul dari sebuah pengamatan pada sebuah objek dibandingkan dengan reaksi lain.
Untuk selanjutnya, sehubungan dengan bidang desain adalah bidang visual, maka dalam pembahasan mengenai visual, digunakan istilah ’kualitas visual’.
Kajian kualitas visual pada bidang desain berkenaan dengan hal ini, yaitu bagaimana sebuah karya desain dapat memunculkan satu rekasi yang bersifat emosional, dan sedapat mungkin mengarahkannya untuk mendapatkan keuntungan yang positif. Sebagian ahli mengatakan bahwa keuntungan positif tersebut ditandai dengan munculnya perasaan ‘senang’, ‘nyaman’, atau reaksi-reaksi positif lainnya. Walaupun tidak dapat dikatakan betul, beberapa kualitas visual yang menimbulkan reaksi seperti ‘muram’, ‘sedih’, ‘sendu’, bahkan ‘marah’, terkadang dapat disebut sebagai sesuatu yang menarik. Pada masa ini bahkan sering dapat ditemukan, ‘selera’ seseorang yang justru mengarah pada karakteristik bentuk-bentuk yang demikian.
Terhadap nilai-nilai tersebut, maka kualitas visual dapat diberikan pada sebaran nilai sebagai berikut :
Reaksi Emosional Positif | Reaksi Emosional Negatif |
Betul | Salah |
Bagus | Jelek |
Menarik | Tidak menarik |
Elok | Tidak elok |
Pantas | Tidak pantas |
Baik | Buruk |
Indah | Tidak indah |
Bagan. 1 Nilai Visual
( sumber: penulis )
Nilai nilai tersebut dapat dilihat sebagai nilai yang bersifat ‘kualitatif’, bukan kuantitatif, atau bersifat nominal, tidak dapat dikonversikan sebagai angka atau bahkan sesuatu yang oposisi, betul pada bagan diatas tidak dapat secara langsung disebut sebagai lawan dari salah.
Berkaitan dengan nilai tersebut, maka tugas desainer cenderung untuk menghasilkan karya desain yang dapat membangkitkan reaksi emosional positif, dimana sekali lagi perlu ditekankan, bahwa reaksi-reaksi itupun tetap bersifat kontekstual.
Untuk memahami lebih lanjut mengenai kualitas visual, secara kontekstual, perlu kiranya dibahas mengenai pergeseran-pergeseran pemahaman mengenai kualitas visual, khususnya mengenai istilah yang sering dipertukarkan, yaitu antara estetika dan keindahan.
Kualitas visual merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari pengertian estetika, yaitu ilmu yang berkenaan dengan nilai-nilai keindahan. Estetika sendiri merupakan sebuah kajian filsafat yang mencakup banyak hal, Baumgarten mencoba menjelaskan estetika sebagai pengetahuan indrawi, yaitu kualitas sebuah penilaian dari segala sesuatu yang berhubungan dengan hasil pencerapan dari alat alat indra yang bekerja. Sehubungan dengan desain adalah permasalahan visual, bergantung pada indra pencerapan visual, maka dalam tulisan ini, istilah dari estetika sendiri diarahkan pada kualitas-kualitas yang berkenaan dengan masalah visual, dan selanjutnya penulis menggunakan istilah Kualitas Visual untuk menggantikan istilah estetika yang terlalu luas.